Jakarta | statusberita.com – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengadakan sidang uji materi tentang sistem proporsional terbuka dalam UU Pemilu dengan menghadirkan ahli pada hari Rabu, 12 April 2023. Wakil Ketua MK, Saldi Isra, meminta pendapat ahli mengenai waktu yang tepat untuk mengubah sistem pemilu, apakah untuk pemilu 2024 atau 2029.
“Jadwal pemilu sudah dekat, sebentar lagi parpol harus mengajukan calon. Nah, menurut ahli, kalau akan diubah, tepat sekarang atau menunggu pemilu 2029?”, ucap Saldi dalam sidang di MK yang disiarkan di YouTube MK, Rabu (12/4/2023).
Saldi awalnya meminta pendapat ahli mengenai sistem proporsional tertutup atau terbuka, namun ia kemudian menegaskan pentingnya menentukan waktu yang tepat bila ingin mengubah sistem pemilu. Menurutnya, jika terburu-buru, hasilnya tidak akan baik.
“Kira-kira pilihan waktu paling tepat, dengan resiko paling rendah, harus sekarang atau pemilu 2029?”, tanya Saldi.
Ketua Program Studi Sarjana Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIP UGM), Mada Sukmajati, menyatakan bahwa perubahan sistem tersebut dapat dilakukan untuk pemilu 2024. Ia menjelaskan bahwa MK belum lama ini juga mengubah sistem dapil dan perubahan ini dapat mendorong perbaikan yang lebih signifikan.
Namun, hakim konstitusi Arief Hidayat mengingatkan bahwa MK sebelumnya telah melakukan perubahan dari sistem proporsional tertutup ke terbuka pada tahun 2008. Ia menjadi bingung mengapa ada suara yang melarang MK mengubah sistem ini lagi karena open legal policy.
“Bisa dilakukan untuk pemilu 2024. Mengapa? Karena MK belum lama ini juga mengubah soal sistem dapil. Tapi tidak ada alasan untuk tidak diputuskan. Dampaknya juga tidak besar. Justru bisa mendorong perbaikan yang lebih signifikan”, jawab Mada tegas.
Dalam sidang tersebut, Mada Sukmajati menyatakan bahwa sistem proporsional daftar tertutup lebih mendorong penyederhanaan sistem kepartaian karena fokus pemilih bukan lagi kepada kandidat, namun kepada partai politik. Ia juga menambahkan bahwa jika bangunan koalisi ideal adalah bangunan koalisi antar partai politik yang bersifat ideologis atau programatik, maka sistem tersebut juga lebih tepat dipilih.
“Dulu yang memulai Mahkamah Konstitusi, kok sekarang ada pendapat ‘jangan Mahkamah Konstitusi dong’. Tapi ada juga yang mengatakan, Mahkamah Konstitusi yang memulai, maka Mahkamah Konstitusi yang mengakhiri. Kau yang memulai, kau yang mengakhiri”, ucap Arief Hidayat.
Namun, penjelasan dari banyak ahli sebelumnya telah menunjukkan bahwa sistem pemilu proporsional daftar terbuka sampai sejauh ini terlihat tidak berhasil dalam mengembangkan politik programatik. Sistem ini juga mendorong fenomena pilihan personal dari para pemilih yang bisa jadi menyisakan potensi konflik horizontal pasca pemilu karena fokus pemilih adalah pada individu calon dan bukan pada lembaga partai politik.
“Kedua, jika bangunan koalisi ideal yang dibayangkan adalah bangunan koalisi antar partai politik yang bersifat ideologis atau programatik, maka sistem tersebut juga lebih tepat dipilih”, ujar Mada.
“Sistem proporsional daftar terbuka telah mendorong fenomena pilihan personal (personal vote) dari para pemilih yang bisa jadi menyisakan potensi konflik horizontal pasca pemilu karena fokus pemilih adalah pada individu calon dan bukan pada lembaga partai politik”, ungkap Mada.
Dalam kesimpulannya, MK masih perlu mempertimbangkan pendapat ahli mengenai waktu yang tepat untuk mengubah sistem pemilu. Meskipun sistem proporsional daftar tertutup lebih mendorong penyederhanaan sistem kepartaian dan sistem koalisi antar partai politik yang bersifat ideologis atau programatik, namun sistem ini masih memiliki kelemahan dalam mengembangkan politik programatik dan mendorong fenomena pilihan personal dari para pemilih.(Arf)