Jakarta | statusberita.com – Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menyeret oknum polisi dan imigrasi dalam praktik ilegal penjualan ginjal ke Kamboja telah mengejutkan masyarakat dan mencoreng citra institusi kepolisian dan imigrasi di Indonesia. Kasus ini memunculkan keprihatinan serius tentang keamanan dan integritas aparat penegak hukum negara, Sabtu (22/7/2023).
Aipda M, seorang oknum polisi yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, diduga menerima dana dari sindikat TPPO dengan menjanjikan bahwa kasus mereka tidak akan dilanjutkan. Aipda M juga disebut telah membantu para tersangka untuk kabur dan menghilangkan jejak setelah penampungan sindikat di Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, digerebek oleh polisi.
Polda Metro Jaya, yang menangani kasus ini, menyatakan bahwa Aipda M tidak terlibat secara langsung dalam praktik ilegal penjualan ginjal ke Kamboja. Namun, fakta bahwa dia menerima dana dari sindikat dan membantu para tersangka melarikan diri membuatnya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan bersama 10 tersangka lainnya.
Selain tindak pidana, Aipda M juga terancam disanksi etik karena menyalahi aturan kode etik dan profesi Polri. Selama proses hukum pidana terhadapnya berlangsung, dia juga diproses oleh Propam Polda Metro Jaya untuk melihat potensi sanksi etik yang akan dikenakan padanya.
Bukan hanya Aipda M, seorang oknum petugas imigrasi berinisial H juga terlibat dalam kasus ini. H diduga menerima uang dari sindikat untuk membantu meloloskan para tersangka dan pendonor ke luar negeri. Dia juga diduga melakukan penipuan dengan mengiming-imingi bahwa kasus tersangka tidak akan diproses jika mereka mengirimkan sejumlah uang.
Kombes Hengki Haryadi, Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya, mengungkapkan bahwa Aipda M tidak mengenal sindikat TPPO ini secara langsung. Namun, saat para tersangka panik dan mencari cara untuk melarikan diri dari jeratan hukum, ada anggota kepolisian yang memberikan informasi tentang kenalan mereka yang bisa membantu. Hal ini membuat Aipda M dan sindikat TPPO menjadi terhubung.
Kasus ini mengungkapkan adanya “obstruction of justice” yang dilakukan oleh Aipda M, yaitu menghalangi proses penyidikan dengan menyuruh sindikat untuk melarikan diri dan menghilangkan jejaknya. Hal ini jelas mempersulit proses penyidikan dan membuka peluang bagi sindikat untuk mengulangi praktik ilegal mereka.
Kepolisian dan aparat hukum harus menangani kasus ini dengan tegas dan adil, serta menjamin bahwa tidak ada ruang bagi oknum-oknum yang ingin menyalahgunakan posisi mereka untuk keuntungan pribadi. Selain itu, penguatan mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap aparat penegak hukum perlu dilakukan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati hukum dan melawan perdagangan orang. Seluruh elemen masyarakat harus berperan aktif dalam memberantas kejahatan semacam ini dengan melaporkan dan mendukung pihak berwenang dalam upaya penegakan hukum.
Tindakan pencegahan juga perlu ditingkatkan dengan melakukan pengawasan ketat terhadap sektor-sektor yang rawan menjadi sarang perdagangan orang, seperti perjalanan ke luar negeri dan industri transplantasi organ. Hanya dengan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan institusi-institusi terkait, perdagangan orang dapat diberantas dan kasus serupa tidak terulang di masa depan. (In)